- KATEGORI : EKONOMI MAKRO
- Friday, 14 December 2012 07:51
- Oleh : Muhaimin Iqbal
Kisruh upah buruh di DKI nampaknya akan panjang, pasalnya adalah Upah Minimum Propinsi (UMP) yang ditetapkan untuk tahun 2013 sebesar Rp 2,200,000 ramai-ramai ditolak oleh kalangan pengusaha. Ratusan pengusaha sudah menyatakan keberatannya atas UMP yang naik sekitar 44% dari UMP 2012 tersebut. Apa yang salah sebenarnya ?
Bagi para buruh upah sebesar Rp 2,200,000 (sekitar 1 Dinar) per bulan wajar dianggap belum mencukupi untuk hidup di kota besar seperti Jakarta yang segalanya serba mahal.
Bagi para pengusaha tentu juga sangat berat bila dalam komponen biayanya ada yang melonjak sampai 44 % - karena akan sangat sulit mengimbanginya dengan pertumbuhan usaha mereka.
Walhasil bagi para pengusaha yang bener-bener tidak mampu mengimbangi kenaikan biaya ini dengan pertumbuhan usaha yang memadai, keduanya akan dirugikan. Si pengusaha akan merugi dan akhirnya menutup usaha dan si buruh akhirnya kehilangan lapangan pekerjaan.
Lantas apa solusinya ? disitulah perlunya timbangan yang adil dalam muamalah. Timbangan yang adil akan baik bagi kedua belah pihak, sebaliknya timbangan yang tidak adil akan merugikan keduanya. Dengan timbangan yang adil orang akan bisa menimbang (melihat) segala sesuatu dengan yang sesungguhnya – bukan dengan yang semu.
Kebutuhan buruh adalah upah yang layak, cukup untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Ketika pertumbuhan upah mereka dari waktu ke waktu kalah dengan inflasi, maka tentu kwalitas kehidupan mereka menurun terus – meskpikun angka pendapatannya naik. Dengan timbangan uang kertas, kemampuan memenuhi kebutuhan ini bias – upah sudah naik kok belum juga cukup ?
Kebutuhan pengusaha adalah pertumbuhan asset, bila pertumbuhan asset mereka lebih rendah dari pertumbuhan inflasi maka nilai usaha mereka menyusut dari waktu ke waktu. Bila pertumbuhan biaya melebihi pertumbuhan pendapatan – maka akan lebih cepat lagi menyusutnya usaha itu. Dengan timbangan yang semu, pengusaha tidak bisa secara riil mengetahui apakah assetnya sungguh-sungguh bertambah atau hanya angkanya saja yang naik mengiringi inflasi.
Dengan timbangan yang adil, maka keduanya dapat melihat secara objektif, apakah kebutuhan buruh semakin terpenuhi dan apakah asset perusahaan dapat bener-bener mengalami pertumbuhan.
Saya gunakan tiga grafik dibawah untuk menjelaskan hal ini agar dapat lebih mudah dipahami secara visual.
Sejak tahun 2000 sampai sekarang, harga beras rata-rata dalam Rupiah telah mengalami kenaikan 222% dari Rp 2,624 (2000) ke Rp 8,459 (2012) – atau mengalami kenaikan sekitar 10% per tahun.
UMP DKI pada periode yang sama mengalami kenaikan 344% dari Rp 344,257 (2000) ke angka Rp 1,529,150 (2012) atau mengalami kenaikan rata-rata sekitar 13 % per tahun.
Apakah selama ini berarti buruh mengalami peningkatan pendapatan riil dan meningkat kemakmurannya ? Alahamdulillah mestinya membaik. Ini bisa dilihat di grafik berikutnya di bawah.
Tidak sehebat angkanya dalam Rupiah, tetapi bila dikonversikan ke beras, memang lebih baik. UMP tahun 2000 setara 131 kg beras, kini setara 181 kg beras.
Penghasilan riil naik, cukup untuk membeli beras tetapi belum berarti makmur bila kita gunakan standar tolok ukur yang baku yaitu nisab zakat. Dengan timbangan emas yang kemudian saya konversikan menjadi universal unit of account (poin) yang nilainya setara 1 ¢¢ Dinar (1/10,000 Dinar), UMP buruh DKI ternyata malah turun dari 10,690 poin (2000) ke angka 7,017 poin (2012).
Untuk bisa dikatakan makmur, UMP perlu didongkrak bersama oleh pemerintah, pengusaha dan para buruh sendiri sehingga mencapai angka di atas 16,667 poin per bulan atau setara 20 Dinar per tahun. Bila dirupiahkan sekarang sekitar Rp 3.8 juta per bulan.
Apakah pengusaha akan mampu memakmurkan karyawannya sampai angka tersebut ? lha wong angka Rp 2.2 juta saja untuk tahun 2013 mereka sangat keberatan ?.
Itulah perlunya timbangan yang adil itu. Pengusaha dan buruh duduk bareng, menimbang bareng kemampuan perusahaan tumbuh dan kemampuan membayar ke buruh yang sesuai. Kemudian disepakati bareng, ayo kerja keras bareng - untuk mencapai benchmarkkemakmuran yang dicita-citakan bersama.
Kalau dahulu ada ungkapan ‘katakanlah dengan bunga’ , maka sekarang saya ganti dengan ‘katakanlah dengan poin’ – agar kita bisa ‘menimbang’ secara adil, agar buruh dan pengusaha punya benchmark yang sama ! InsyaAllah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar