PERGERAKAN HARGA DINAR DALAM 24 JAM

Sabtu, 17 November 2012

Penguasaan Komoditi dan Penguasaan Ekonomi…


Kita semua pada umumnya adalah produsen dan konsumen sekaligus. Kita memproduksi barang atau jasa A, dan membutuhkan produk barang atau jasa B. Dalam proses konversi antara yang kita produksi A menjadi yang kita butuhkan B inilah dibutuhkan medium of exchange – yaitu uang. Sayangnya uang yang kita pakai untuk medium of exchange selama ini sangat tidak efisien.

Kalau kita memproduksi jagung dan kita butuh beras setahun kemudian, kehilangan proses penukaran ini bisa mencapai sekitar 9 % di Indonesia – yaitu angka inflasi rata-rata per tahun bahan pangan selama 5 tahun terakhir.

Hal yang sama terjadi pada skala negara, kita memproduksi gas, emas, hasil hutan dlsb., pada saat yang bersamaan kita butuh pesawat terbang, computer, mesin-mesin pabrik dlsb. Produksi kita dijual dan kita menerima Dollar untuk digunakan membeli barang-barang yang kita butuhkan.

Karena ada jeda waktu antara kita menjual produk dan membeli kebutuhan, selama jeda waktu tersebut Dollar simpanan kita (cadangan devisa) terus mengalami penurunan. Terhadap kambing (yang setara emas) misalnya, Dollar menurun daya belinya 18 % per tahun rata-rata selama 10 tahun terakhir.

Lantas bagaimana agar dalam proses menukar produk kita dengan produk yang kita butuhkan tersebut tidak terjadi in-efficiency yang begitu nyata ?, jawabannya ya tidak menggunakan uang yang rentan terhadap in-efficiency tersebut (baca inflasi).

Cuma masalahnya adalah menyimpan kambing tidak semudah menyimpan uang, menjual kambing juga tidak semudah membeli barang dengan uang. Apa solusinya ?, itulah dibutuhkan pasar sehingga barang atau komoditi apapun dapat dipertukarkan dengan cepat dan mudah.

Pasar juga membutuhkan satuan nilai (unit of account) agar satu barang-mudah ditukar dengan barang lain dengan nilai yang sesuai untuk masing-masing barang. Unit of accountseharusnya juga standard dan bernilai relatif tetap terhadap barang lain. Kalau 1 unit of account 10 tahun lalu cukup untuk membeli kambing, sekarang juga harus cukup.

Apakah ini bisa terjadi bila unit of account-nya Rupiah, Dollar dlsb ?. Statistik menunjukkan tidak, karena harga kambing melonjak sampai sekitar 5 kali selama 10 tahun terakhir saja bila dibeli dengan Rupiah maupun Dollar. Yang terbukti stabil selama 1400 tahun lebih adalah emas atau Dinar – maka Dinar itulah sesungguhnya unit of account atau timbangan yang adil itu.

Bagaimana menyikapi Dinar yang nilainya terlalu besar untuk kebutuhan masyarakat sehari-hari seperti telur , sayur, beras dlsb. ?. Timbangannya tetap timbangan yang adil, tetapi nilainya bisa saja dipecah menjadi unit yang sangat kecil misalnya 1 ¢¢ ( dibaca 1 sen-sen) atau 1/10,000 Dinar.

Bagaimana mencetak koin dengan satuan 1/10,000 Dinar atau 1 ¢¢ atau koin emas seberat 0.000425 gram itu ? Jawabannya ya tidak harus dicetak !. Berbagai teknologi yang ada di jaman ini bisa dengan mudah menggantikan fungsi koin 1 ¢¢ tersebut. Tinggal emasnya dititipkan di sebuah institusi yang terpercaya (Trusted Third Party), penggantinya bisa kupon, digital record dlsb.

Dalam sejarah Islam, institusi yang menerima titipan emas tersebut disebut al-Sharf – dan ‘kupon’ yang diberikan untuk dapat ditukar kembali dengan emas – bahkan di negeri yang jauh – disebut al-Suftajah.

Melalui keberadaan al-Sharf dan produknya al-suftajah tersebutlah dahulu negeri-negeri Islam yang sangat luas wilayahnya-pun memiliki system medium of exchange yang efisien dan tidak tergerus oleh inflasi. Medium of exchange ini berdasarkan komoditi, karena inilahmedium of exchange yang disebut dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh hampir seluruh perawi itu.

“(Juallah) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (denga syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai”. (HR. Muslim)

Sayangnya negeri yang nampaknya paling memahami kekuatan komoditi sebagai store of value (penyimpan nilai), unit of account (satuan nilai) dan sekaligus juga medium of exchange (alat tukar) itu kini bukan negeri muslim – tetapi malah negeri China.

Chinalah sekarang negeri yang paling agresif mengumpulkan berbagai komoditi baik oleh pemerintah atau swasta/rakyatnya, baik itu emas, perak, tembaga sampai komoditi-komoditi yang sangat khusus – dibutuhkan dalam perlombaan teknologi jaman ini tetapi tidak banyak yang bisa memproduksinya.

Bahkan di negeri-negeri lain nama komoditi tersebut belum dikenal. Kalau saya sebutneodymium, europium, dan cerium misalnya – pasti belum banyak yang mengetahui benda apa itu.

Itulah kekuatan China di bidang komoditi, karena hanya Chinalah yang menguasai rare earth elements ini. Neodymium diperlukan untuk memproduksi magnet permanent dan teknologi laser, Europium diperlukan untuk teknologi fiber optic dan LED lights, penerangan hemat energy kedepan. Cerium dibutuhkan untuk fluid-cracking catalyst yang bisa meningkatkan hasil dan mengurangi energy yang dibutuhkan dalam industri perminyakan.

Untuk komoditi pangan, China pula yang telah memperkenalkan dioscorea flour – yang tidak lain sebenarnya adalah tepung gembili yang kita-pun sesungguhnya bisa memproduskinya dalam skala besar – bila kita ada awareness ke sana.

Bagaimana China bisa unggul dalam komoditi-komoditi tersebut di atas ?, karena mereka tahu bahwa komoditi-lah uang yang sesungguhnya itu. Sementara negeri-negeri lain mengira bahwa uang itu adalah Rupiah, Dollar dlsb. yang nilainya mudah sekali terdistorsi turun.

Umat ini sesungguhnya telah diberitahu oleh Rasul-nya bahwa jual beli itu dengan komoditi sebagaimana hadits shahih di atas, tetapi ketika petunjuk itu diabaikan – maka penguasaan ekonomi dunia inipun tidak ditangan umat ini. Penguasaan ekonomi itu ditangan yang menerapkan petunjuk tersebut ! Wa Allahu A’lam.

Selasa, 13 November 2012

Passion Capital Untuk Kinerja ABCD…


Seorang pegawai kepergok lagi asyik main game di computer kantor pada jam kerja. Ketika ditanya : “Mengapa Anda lakukan ini….?”, karena tertangkap basah dan tidak bisa mengelak – diapun berargumen : “…Saya memang hanya berpura-pura bekerja, karena kantor ini juga hanya berpura-pura menggaji saya…”.  Yang memergoki kaget dengan jawaban ini, langsung bertanya lagi : “…apa maksud Anda bahwa kantor ini hanya berpura-pura menggaji Anda ?

Dia menjelaskan : “Sudah puluhan tahun saya bekerja disini, kantor ini tidak pernah mau tahu apakah gaji yang saya terima cukup untuk hidup saya dengan keluarga atau tidak – padahal seluruh waktu produktif saya ya ada di kantor ini, saya tidak mungkin ada penghasilan lain dari pekerjaan lain…!”.

Masih penasaran, bertanya lagi yang memergoki : “Bukankah setiap tahun gaji Anda juga naik ?”, pegawai tersebut menjawab : “Justru disitulah kepura-puraan kedua dari kantor ini…!”, dia melanjutkan : “kepura-puraan pertama adalah ketika gaji saya ditentukan tanpa memperhitungkan kebutuhan saya, kepura-puraan kedua adalah ketika gaji saya seolah naik setiap tahun padahal sejatinya turun karena kenaikannya kalah cepat dengan inflasi !”.

Situasi dilematis seperti yang terungkap dalam dialog di atas bisa dijumpai dimana saja di negeri ini baik di instansi pemerintah maupun swasta. Perusahaan atau instansi pemberi kerja sudah merasa maksimal memberikan gaji pada karyawannya, namun tetap tidak cukup atau dirasa tidak cukup oleh para karyawannya.

Ketika para karyawan tersebut terdemotivasi dan bekerja sekedar ‘berpura-pura bekerja’ , maka kinerja perusahaan atau instansi tersebut tambah runyam dan tambah tidak mampu menjamin kecukupan gaji para karyawannya. Ini adalah syirkah yang dicabut keberkahannya karena kedua belah pihak saling berkhianat terhadap yang lain.

Bagaimana mengatasi situasi seperti ini ?, tambahan modal untuk perusahaan atau injeksi dana program untuk instansi ?, ganti SDM dengan SDM yang berkwalitas ?. Masalahnya bukan di modal/dana program ataupun di SDM. Bila budaya kerja tetap, tambahan modal atau dana  dan bahkan tambahan SDM berkwalitas-pun hanyalah ibarat  menggarami lautan – tidak akan berdampak.

Perusahaan ataupun instansi yang mengalami situasi dilematis seperti tersebut diatas membutuhkan apa yang disebut Passion CapitalPassion Capital bukan uang dan bukan juga orang, Passion Capital adalah asset yang tidak kelihatan tetapi tidak ternilai harganya.

Sulit menggambarkan Passion Capital ini dalam bahasa Indonesia, karena terjemahanPassion adalah semangat, nafsu, cinta, keinginan besar dst.  Kalau saya terjemahkan menjadi Modal Semangat – maka bukan itu maksudnya Passion Capital. Modal Semangat lebih menyerupai Modal Dengkul atau kalau dalam bahasa Inggris disebut Sweat Equity(Modal Keringat).

Lebih mudahnya saya beri contoh saja, banyak produk atau karya yang luar biasa di sekitar kita yang terlahir dari adanya Passion Capital itu. Untuk computer atau gadget misalnya, ada Apple – yang satu produknya saja seperti  iPhone 5 bisa langsung mendongkrak GDP negaranya yang lagi terpuruk – saking besarnya penjualan produk tersebut di seluruh dunia.

Bagaimana kita bisa membangun atau mengumpulkan Passion Capital ini dalam suatu instansi atau perusahaan ?. Berikut antara lain adalah langkah-langkahnya :


Keyakinan

Karya kita adalah cerminan keyakinan kita. Bila kita yakin dengan apa yang kita lakukan akan membawa kebaikan pada diri kita juga, maka kita akan cenderung bisa berbuat yang maksimal.

Dalam Islam pekerjaan kita juga bagian dari ibadah, kalau ini saja kita yakini maka insyaallah kita tidak akan menyia-nyiakan puluhan tahun waktu kita hanya untuk ‘berpura-pura bekerja’ !.


Budaya

Budaya adalah hasil dari suatu proses – tidak terjadi secara ujug-ujug. Seorang pegawai hanya ‘berpura-pura bekerja...’ karena lingkungannya juga mendukung terjadinya hal itu. Proses harus dilawan dengan proses juga, artinya diperlukan upaya keras untuk bisa merubah lingkungan budaya.


Keberanian

Untuk membuat perubahan besar diperlukan keberanian, keberanian untuk melawan budaya yang buruk, keberanian untuk melawan keragu-raguan dan keberanian untuk gagal.

Keberhasilan bukan sesuatu yang final dan kegagalanpun bukan sesuatu yang fatal, keberanian untuk terus mencoba dan mencoba yang akan menjadi pembedanya.


Pembeda

Bila Anda hanya berbuat yang sama dengan yang dilakukan oleh lingkungan Anda, bila Anda hanyalah produk lingkungan Anda – maka dunia tidak akan mengenal Anda.

Dibutuhkan karya nyata Anda yang tidak biasa-biasa saja , yang akan membedakan Anda dari lingkungan Anda – jangan sia-siakan usia hanya untuk ‘berpura-pura berkarya’ , waktunya untuk sungguh-sungguh bekerja dan berkarya !.


Sumber Daya

Tidak terkira sumber daya yang ada di sekitar Anda, sebagian mungkin sudah Anda kenali sebagian mungkin masih belum Anda kenali. Sukses Anda tergantung juga dengan kemampuan Anda untuk menggali sumber daya yang ada di sekitar Anda, baik yang sudah Anda kenali maupun yang belum Anda kenali – yang masih bisa terus digali !.


Strategy

Strategy adalah jabaran dari visi Anda, tanpa strategy Visi Anda hanyalah mimpi. Dengan strategy Anda akan bisa melihat bagaimana visi Anda terwujud, langkah demi langkah.

Strategy yang diimplementasikan dalam langkah-langkah yang nyata akan membawa Anda pada jalan kemenangan yang dekat, bekerja tanpa strategy memang hanya menghasilkan kerja yang ‘pura-pura kerja’ – banyak kesibukan tetapi tidak membawa pada kemenangan (hasil).


Istiqomah

Tidak ada yang menjamin bahwa perjuangan Anda akan langsung berhasil, tetapi dengan keyakinan yang kuat, keberanian yang tinggi, sumber daya yang cukup, strategy yang implementatif, maka tinggal masalah waktu saja sebelum kemenangan besar yang insyaallah akan Anda peroleh. Kegagalan Anda hanyalah kemenangan yang tertunda, sejauh Anda terus mencoba – maka kemenangan itupun akan tiba juga waktunya.


Dengan tujuh hal tersebut di atas, seperti apapun lingkungan kerja Anda – InsyaAllah Anda akan bisa merubahnya, kalau toh masih terlalu besar untuk Anda merubahnya – setidaknya mulai dari diri Anda. Berhenti berpura-pura bekerja, mulailah bersungguh-sungguh dalam kerja, insyaallah Anda akan bisa mencapai derajat Ihsan - mencapai lebih dari yang diwajibkan untuk Anda atau dalam bahasa Inggris disebut ABCD – Above and Beyond the Course of Duty. InsyaAllah !.

Bukti Bahwa Uang Kertas Itu Memiskinkan Dunia…


Konon ada kekuatan di dunia ini yang menghendaki mayoritas umat manusia itu harus miskin dan membiarkan segelintir orang saja yang bisa kaya, maka kekuatan itu telah berhasil mengimplementasikan strateginya dengan sangat baik dalam setengah abad terakhir. Strategi yang digunakan tersebut adalah – apa yang sangat digemari umumnya manusia, yaitu uang kertas ! berikut buktinya.

Untuk bisa memahami apakah manusia didunia tambah makmur atau tambah miskin, pertama kita harus menyepakati dahulu tolok ukurnya. Bila tolok ukurnya yang digunakan adalah uang kertas – yaitu yang digunakan di dunia saat ini, maka betul seolah telah terjadi lompatan kemakmuran di dunia.

GDP per capita masyarakat di dunia telah melonjak dari US$ 2,756 tahun 1950, menjadi US$ 11,071 tahun 2011 lalu. Ini rata-rata dunia, rata-rata Indonesia masih kurang dari 1/3 rata-rata dunia atau di kisaran US$ 3,250 tahun 2011. Fokus tulisan kali ini adalah masyarakat dunia karena untuk masyarakat Indonesia sudah saya buat tulisannya melalui tulisan tanggal 31/10/2012 dengan judul “Arti Kemamuran di System Dajjal”.

Masalahnya adalah ketika tahun 1950 rata-rata orang di dunia bisa membeli 581 ekor kambing dari pendapatan per tahunnya, kemudian tahun 2011 hanya mampu membeli kurang dari 1/10-nya yaitu hanya mampu membeli  52 ekor kambing dari pendapatan per tahunnya – apa bisa dikatakan mereka tambah makmur ? tentu tidak, malah yang sebaliknya yang terjadi – rata-rata mereka bertambah miskin !.

Penglihatan itu semakin jelas manakala kita sandingkan antara kacamata Dollar dengan kacamata Dinar – saya gunakan Dinar karena harga emas datanya tersedia selama dua abad terakhir, sedangkan harga kambing kurang lebih mengikuti harga emas ini selama lebih dari 1400-tahun.

Saya selalu ingin menyandingkan Dinar dengan kambing ini, supaya orang tidak berargumen bahwa telah terjadi bubble yang tidak wajar di harga emas. 1 Dinar tetap hanya cukup untuk membeli seekor kambing besar, tidak cukup untuk membeli sapi atau unta. Dia juga tidak turun sehingga hanya cukup untuk membeli sate, membeli ayam atau telur – sebagaimana yang terjadi pada uang kertas.

Sekarang perhatikan pada grafik disamping yang menggambarkan bagaimana kinerja pendapatan penduduk dunia sejak tahun 1950. Saya tarik ke tahun 1950 supaya Anda bisa melihat – bahwa pasca Perang Dunia II sampai tahun 1970 memang terjadi peningkatan kemakmuran di dunia – baik dari kacamata Dollar maupun kacamata Dinar.

Tetapi mulai tahun 1971 ketika Amerika mulai mengingkari perjanjian yang dipimpinnya sendiri – perjanjian Breton Woods , dimana semua uang yang kertas seharusnya dikaitkan dengan emas tetapi mulai tahun 1971 uang kertas tidak lagi dikaitkan dengan emas – maka sejak saat itu pulalah kacamata dunia menjadi bias manakala melihat kemakmuran.

Dan siapa yang sengaja membiaskan penglihatan manusia di dunia ini ? bersyukurlah kita semua yang mendapatkan petunjuk langsung dari uswatun hasanah kita Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam melalui sabdanya : “Maukah aku beritahukan kepada kalian suatu hal mengenai dajjal ? suatu yang belum pernah dikabarkan oleh seorang nabipun kepada kaumnya : Sesungguhnya dajjal itu buta sebelah matanya, ia datang dengan sesuatu seperti surga dan neraka. Yang dikatakannya surga berarti itu adalah neraka. Dan sungguh aku memperingatkannya atas kalian sebagaimana Nabi Nuh mengingatkannya atas kaumnya” (HR. Muslim)

Dan siapakah dajjal itu ?, dijawab pula melalui hadits beliau lainnya : “…bahwa ia (dajjal) itu adalah Yahudi…” (HR Muslim).

Dunia yang mengira bahwa selama ini telah teradi pertumbuhan ekonomi – karena diukur dalam US$, ternyata tidak mampu meningkatkan kemakmuran penduduknya kecuali terhadap sedikit orang yang memang dimungkinkan dalam system yang mereka buat.

Bila grafik sebelumnya memperlihatkan pendapatan per capita penduduknya, grafik disamping memperlihatkan Gross World Product yang mencerminkan tingkat pertumbuhan ekonomi dunia, dunia mengira tumbuh padahal susut – lha memang itulah yang dikehendaki dajjal !.

Belajar dari sudut pandang ini, maka dibidang apapun, bukan hanya dari urusan ekonomi, tetapi juga dalam urusan pendidikan, budaya, politik, system hidup, peradaban dst – umat ini memang harus mengembangkan tolok ukurnya sendiri. Jangan terkecoh tolok ukur dajjal yang seolah mengajak penduduk dunia ke surga kemakmuran padalah sesungguhnya mereka telah menjerumuskan penduduk dunia ke neraka kemiskinan.

Kita diajari untuk berlindung dari dajjal, maka selain menghafal sepuluh ayat pertama surat Al-Kahfi – kita juga harus bisa memahaminya dan mengimplementasikannya dalam bentuk perlindungan dari segala system yang mereka paksakan di dunia ini. InsyaAllah kita bisa, insyaAllah !.


Konon umat ini punya dana abadi, namanya Dana Abadi Umat (DAU). Dana ini utamanya dikumpulkan dari seluruh jamaah haji Indonesia, jadi bila Anda sudah berhaji – Andapun telah berkontribusi di dalamnya. Sayangnya yang sering kita dengar dari DAU ini bukan manfaatnya tetapi malah kasusnya. Mungkinkah kita bisa membangun ‘dana’ atau ‘investasi’ yang benar-benar abadi ? jawabannya sangat mungkin ! berikut adalah landasan teori dan implementasinya.

Adanya bentuk ‘investasi’ yang abadi itu disebutkan di Al-Qur’an dalam ayat berikut : “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shaleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS 18 :46).

Ulama tafsir At-Tabari dan juga Ibnu Katsir menjelaskan Al-Baaqiyaatushshaaliqaat atau amal shaleh yang kekal itu adalah shalat wajib lima waktu, dzikir kepada Allah dengan tasbih, tahmid dan takbir, dan juga seluruh amal kebajikan lainnya.

Selain shalat , dzikir dan doa yang tidak boleh ditinggalkan, umat dijaman ini perlu banyak sekali beramal nyata dalam mengatasi berbagai persoalan yang ada di tengah umat. Persoalan kwalitas pendidikan yang rendah, penguasaan ekonomi yang lemah, kekuatan politik yang termarginalkan, ketinggalan ilmu dan teknologi, peradaban yang mengekor umat lain dlsb, perlu amal shaleh yang konkrit dan  berkelanjutan atau sustainable.

Tapi bagaimana bentuknya ?, kalau umat disuruh waqaf dalam jumlah besar agar cukup untuk membuat pasar yang luas dan terbuka untuk membangun kekuatan ekonomi umat – mestinya ini bisa, tetapi kurang insentif yang dekat (di dunia) sehingga tidak banyak terjadi di jaman kini.

Demikian pula untuk bersatu menggalang kekuatan politik, mendanai penelitian dan pengembangan teknologi agar kita unggul, membangun sekolah-sekolah unggulan dalam jumlah banyak sehingga bisa mengalahkan sekolah unggulan umat lain. Umat punya dana, tetapi mengapa tidak terjadi ?. Jawabannya sama , yaitu kurang insentif yang dekat.

Lantas apa solusinya ?, solusinya ada di ayat tersebut di atas dan juga di ayat berikut :

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS 28 :77)

Proyek-proyek keumatan yang besar insyaallah akan lebih mudah digerakkan bila didalamnya juga memperhatikan ‘…bagianmu dari kenikmatan duniawi…’ sebagaimana dalam ayat tersebut di atas.

Tetapi agar hal ini tidak ditafsirkan seperti terjun berpolitik untuk membangun kekayaan pribadi dengan mengatas namakan rakyat, tidak membangun sekolah Islam unggulan kemudian biaya pendaftaran dan SPP dibuat selangit sehingga hanya yang kaya yang mampu mendaftar, dan  sejenisnya – perlu contoh-contoh lain yang lebih bisa diterima dandoable !.

Misalnya bagaimana kita bisa membangun sekolah unggulan yang murah, syukur-syukur bisa gratis dalam jumlah yang banyak. Ini kita perlukan karena di negeri yang mayoritas muslim ini, jumlah sekolah unggulannya masih belum sepadan dengan apa yang dimiliki umat lain - relatif terhadap jumlah penduduknya.

Bila sekolah ini didanai khusus dengan dana infaq atau waqaf,  kondisinya adalah seperti sekarang – tidak banyak yang bisa dibangun karena umat belum menaruh infaq dan waqaf sekolahan sebagai prioritasnya. Bila didanai oleh orang tua murid dalam bentuk biaya pendaftaran dan SPP yang mahal, maka hanya yang kaya yang bisa bersekolah di sekolah unggulan. Lantas apa pilihannya ?

Sekolah unggulan tersebut bisa dibangun dengan menempel proyek-proyek investasi yang didanai oleh umat secara sukarela. Sebagai contoh masyarakat muslim professional yang bekerja di Jakarta dan selama ini waktunya habis pulang pergi kantor dan kurang bisa berinteraksi dengan keluarganya secara optimal, mereka bisa membeli atau membangun bersama apartemen di pusat kota yang tidak jauh dari tempat kerjanya.

Bila apartemen tersebut dibiayai oleh investasi umat muslim, maka secara bersama-sama mereka bisa ‘menginfaqkan’ misalnya 10% s/d 20% ruangan apartemen untuk masjid, sekolah, perpustakaan dlsb. ‘Infaq’ 10% s/d 20% ini bernilai besar tetapi tidak akan terasa bila dimasukkan dalam harga apartemen yang bersangkutan.

Masjid, sekolah dan perpustakaan unggulan di apartmen tersebut kemudian bisa dipakai oleh umum – bukan hanya yang tinggal di apartemen. Masyarakat umum yang ikut menyekolahkan anak di apartemen tersebut tidak perlu lagi membayar biaya gedung yang mahal, karena biaya gedungnya telah dibayar oleh bagian dari umat ini yang mampu membeli apartemen.

Dengan cara ini umat akan memiliki masjid yang bagus, sekolah yang unggul, perpustakaan yang lengkap semuanya di pusat kota – pusat aktivitas mereka. Sekarang kita kan nggak punya masjid yang bagus di Jalan Thamrin dan Sudirman Jakarta ?, nggak punya sekolah Islam unggulan di sekitar tempat kerja Anda di pusat kota ?. Di Depok saja yang dahulu direncanakan menjadi kota santri, tidak ada masjid di jalan utamanya (Margonda) padahal mal-mal dan apartemen terus bertumbuhan !.

Keberadaan masjid-masjid yang ngumpet di sela-sela perkampungan di belakang gedung-gedung pencakar langit, mushola yang diletakkan di tempat parkir dari perkantoran mewah dan hotel, segelintir sekolah unggulan yang hanya bisa hadir di pinggiran kota – seperti yang kita lihat sekarang ini, semua karena kita belum mendaya gunakan ‘investasi’ dana umat yang bejibun jumlahnya secara tepat sasaran.

Melalui pendekatan yang sama dengan pembangunan apartemen berbonus masjid, sekolah unggulan dan perpustakaan tersebut – umat bisa rame-rame mendanai berbagai projek keumatan lainnya seperti pasar, rumah sakit, lembagai riset dan pengembangan teknologi dlsb dengan sumber dana yang berlimpah.

Teorikah ini ?, insyaAllah bener-bener bisa dijalankan. Eksperimen skala kecil sudah kami coba lakukan, memang belum besar karena belum banyak umat yang terlibat. Madrasah Al-Qur’an bisa kami tempelkan dalam project Jonggol Farm sehingga semua siswanya tidak perlu membayar satu sen-pun. Khuttab Al-Fatih bisa menggunakan ruangan-ruangan dari project Bazaar Madinah sehingga biaya pendaftaran siswa hanya sekitar 1/10 dari sekolan Islam unggulan terdekat – karena siswa kita tidak perlu membayar uang gedung dlsb.

Dengan pendekatan yang sama pula, Anda bisa terlibat dalam pembangunan berbagai project keumatan lainnya – manakala project-project tersebut dapat ditempelkan pada project lain yang feasible. Pasar Islam bisa menempel pada project perumahan, pesantren unggulan bisa menempel pada project perkebunan, rumah sakit bisa menempel pada sejumlah project perumahan yang berkongsi membangunnya bersama dlsb.

Andakah yang memiliki project-project keunggulan umat ini ? siapa tahu bisa kita integrasikan dengan puluhan ribu umat yang membaca situs ini. Project Anda tiba-tiba memiliki daya jual tersendiri karena memperhatikan kebutuhan umat akan ‘investasi’ yang abadi. InsyaAllah.