- KATEGORI : ENTREPRENEURSHIP
- Thursday, 13 September 2012 07:24
- Oleh : Muhaimin Iqbal
Suatu hari Arjuna ingin mengasah keterampilan memanah dari muridnya – yang kemudian menjadi istrinya – Srikandi. Diajaknya Srikandi ke hutan dan mulai membidik sasaran. Ketika Srikandi mulai menarik busur panah dan hendak melepaskan anak panahnya, sang Arjuna berbisik : “ Tungggu dahulu, apa yang kamu lihat istriku ?”. Sang istripun menjawab : “ Aku melihat hutan…”, maka sang suami segera memegang tangan istrinya dan berkata : “tunggu dahulu, jangan dilepaskan anak panahmu…”.
Setelah beristirahat sejenak, latihan pun dilanjutkan. Ketika Srikandi menarik busur dan siap melepaskan anak panahnya, suaminya kembali bertanya : “Apa yang sekarang kamu lihat istriku ?”. Istrinya menjawab : “Aku melihat pohon”. Kembali sang suami memegang tangan istrinya dan berkata : “ Tunggu dahulu, belum saatnya…, jangan dilepaskan anak panahmu…”.
Pelajaran-pun berlanjut, Ketika Srikandi menarik busur dan merasa siap betul untuk melepaskan anak panahnya, lagi-lagi suaminya kembali bertanya : “Apa yang sekarang kamu lihat istriku ?”. Istrinya menjawab : “Aku melihat burung sekarang”. Tetapi suaminya belum merasa puas, sang suami-pun memegang tangan istrinya dan kembali berkata : “Belum cukup istriku, jangan dilepaskan dahulu anak panahmu…”.
Setelah istirahat cukup, menenangkan diri dan mengkonsentrasikan pikiran, pelajaran dilanjutkan lagi. Setelah Srikandi dengan tenang dan fokus menarik busurnya, sang suami kembali bertanya : “Apa yang kamu lihat sekarang…?”. Sang istri menjawab dengan tenang : “Aku sekarang hanya melihat mata burung…!”. Kali ini suaminya memberikan instruksi : “Sekarang lepaskan anak panahmu…”.
Srikandi seolah tidak mendengar instruksi sang suami, matanya tetap fokus ke mata burung yang dilihatnya tetapi dia tidak tega untuk memanahnya. Sampai berulang-ulang suaminya memberi instruksi “lepaskan…, lepaskan…, lepaskan…”. Anak panah itu tidak dilepaskan oleh Srikandi dari busurnya, sampai sang burung terbang kembali dengan bebasnya.
Penasaran dengan apa yang dilakukan oleh istrinya, sang Arjuna berkata : “Mengapa kamu tidak lepaskan anak panahmu, padahal kalau kamu lepaskan pasti kena bidikanmu…”. Istrinya menjawab : “betul aku tahu, anak panah itu akan tepat mengenai sasaran…tetapi justru karena itu aku tidak mau melepaskannya karena burung yang aku panah itu akan mati sia-sia…”.
Sang arjuna-pun mengerti dan menghargai alasan istrinya, maka pada pelajaran berikutnya tidak digunakan benda hidup sebagai sasaran memanah. Dipilihnyalah sawo kecik (sawo yang matangnyapun tetap berukuran kecil) di pohonnya yang tinggi.
Ketika sang istri sudah siap dengan busur yang ditariknya, sang Arjuna hendak bertanya – namun sebelum sempat bertanya istrinya sudah melepaskan anak panahnya dan tepat mengenai tangkai dari sawo kecik yang dibidiknya.
Setelah mengambil sawo yang terjatuh dalam kondisi utuh – karena yang dipanah tangkainya bukan sawonya, dengan penasaran dia kembali bertanya ke istrinya : “Bagaimana kamu bisa memanah tangkai sawo yang hanya sebesar lidi, padahal aku belum memberikan perintahnya untuk melepaskan anak panahmu ?.”
Sang istri menjawab : “maafkan aku suamiku, aku tahu itu yang akan engkau perintahkan karena itu yang terbaik. Bila aku panah sawonya, tentu itu lebih mudah – tetapi sawonya akan menjadi hancur dan tidak berguna. Dengan memanah tangkainya – yang lebih sulit, sawo tetap utuh dan masih bisa dimakan oleh manusia atau hewan yang membutuhkannya.”
Dialog dalam pelajaran memanah ini mengandung banyak pelajaran untuk kita yang terjun ke dunia usaha.
Pertama, bagi kita yang pemula di dunia usaha – kita membutuhkan mentor yang berwawasan luas tetapi juga mampu melihat detil. Mentor yang bisa melihat hutan, kayu, burung sampai mata burung.
Kedua untuk pelaku usaha itu sendiri, dia butuh fokus yang sangat tajam – sebelum dia bener-bener menerjuni usaha yang dipilihnya.
Ketiga, usaha apapun yang kita lakukan – tidak boleh menimbulkan kemubadhiran, membunuh binatang yang tidak perlu, memboroskan hasil alam yang terbatas dlsb.
Keempat, bangun komunikasi yang baik – sehingga perintah tidak selalu harus diucapkan.
Kelima, buka pikiran dan hati…, hargai pendapat dan keputusan mitra Anda kalau memang itu yang terbaik. Wa Allahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar