- KATEGORI : EKONOMI MAKRO
- Published on Friday, 25 January 2013 07:31
- Oleh : Muhaimin Iqbal
Belum lama ini perusahaan konsultan global McKinsey&Company mengeluarkan laporannya tentang potensi Indonesia hingga 2030. Laporan ini nampaknya dibuat dengan sangat serius karena merupakan hasil interview dengn sejumlah menteri, akademisi dan pelaku usaha. Meskipun banyak manfaatnya karena dari laporan ini kita ‘bisa melihat’ kedepan, namun tetap saja kita harus sikapi dengan kritis karena laporan-laporan semacam ini tentu dibuat bukan tanpa kepentingan.
Hal-hal yang positif tentang laporan ini misalnya mengungkapkan bahwa Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi ke 7 terbesar di dunia tahun 2030. Bahwa berbeda dengan negeri tetangga, untuk tumbuh kita tidak sepenuhnya tergantung pada pasar ekspor karena 65% dari GDP kita berasal dari pasar domestik.
Hal lain yang juga positif adalah potensi ekonomi Indonesia dari sektor perikanan dan pertanian yang dianggapnya akan mampu menopang pertumbuhan ekonomi rata-rata di angka 7% seperti dalam ilustrasi disamping.
Selanjutnya yang juga saya setuju adalah untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang rata-rata tinggi tersebut, Indonesia harus secara sungguh-sungguh berinvestasi pada sumber daya manusia – khususnya pada peningkatan skills di berbagai sektor kehidupan. Pertumbuhan 7% tersebut menurut McKinsey hanya bisa dicapai bila ada peningkatan produktifitas rata-rata sekitar 60% dari sekarang sampai 2030.
Selain memberikan kabar baik, McKinsey juga memberikan peringatan yang perlu kita waspadai – yaitu khususnya yang terakit dengan pemerataan kesejahteraan. Menurut laporannya tersebut tahun 2030 – yang hanya 17 tahun dari sekarang, ketika anak Anda yang baru lahir menginjak usianya yang ke 17, 20 % dari penduduk Indonesia atau sekitar 55 juta orang saat itu akan tidak memiliki akses terhadap sanitasi dasar, dan sekitar 25 juta diantaranya bahkan akan kesulitan memperoleh air bersih.
Masalah air inilah yang dalam tulisan saya sebelumnya “Barakah Bukan Musibah…” mengajak untuk mensikapi dan menindak lanjutinya dengan benar. Bila otoritas negeri ini bisa mengelola air yang belum lama ini menjadi bencana, menjadi air baku yang tersimpan dengan baik di sejumlah waduk-waduk – maka peringatan McKinsey untuk problem air tersebut di atas insyaAllah tidak perlu terjadi.
Hal lain yang saya kurang sependapat dengan McKinsey adalah pertumbuhan ekonomi yang mengandalkan financial services. Saat ini rata-rata penduduk Indonesia hanya memiliki 2.3 produk yang terkait dengan jasa keuangan, sementara Malaysia rata-rata 5.4 dan Singapore rata-rata 7.7. Menurutnya Indonesia akan mendekati Malaysia atau bahkan Singapore ketika penghasilan kita tumbuh.
Pertumbuhan financial services membuat kekayaan masyarakat terpusat di perusahaan-perusahaan pengumpul dana masyarakat seperti bank, asuransi dlsb. Ketika dana itu terpusat pada segelintir institusi, maka yang bisa mengakses-pun hanya segelintir pihak. Masyarakat kebanyakan menabung dengan hasil yang pas-pasan bahkan sering kalah dengan laju inflasi, sementara segelintir orang yang memiliki privilege akses terhadap capital yang terkonsentrasi akan menjadi semakin besar.
Kapitalisme ribawi tumbuh semakin besar peranannya dalam ekonomi masyarakat, manakala ditopang oleh industry jasa keuangan yang semakin besar. Mengapa 9 dari 10 pensiunan tidak siap secara finansiil ?, karena kekayaan mereka selama bekerja puluhan tahun tersimpan di berbagi produk jasa keuangan seperti dana pensiun, asuransi, deposito, tabungan dlsb.
Dari realita bahwa produk-produk jasa keuangan tersebut yang tidak mampu memakmurkan pemiliknya, mengapa harus diandalkan menjadi area pertumbuhan ?. Adakah orang bisa makmur dengan menabung ? Apakah para pensiunan - yang terbukti telah menabung selama puluhan tahun - bisa menjaga kwalitas kehidupannya dengan mengandalkan dana pensiun dan hasil deposito-nya ?.
Jadi darimana pertumbuhan itu terjadi mestinya ?, dari uang yang beredar dan berputar dengan cepat di masyarakat yang luas untuk menggerakkan sektor produksi dan sektor perdagangan. Inilah sektor-sektor yang secara riil memakmurkan masyarakat luas itu.
Jadi dalam 17 tahun dari sekarang, fokus tenaga terampil yang kita perlu bangun mestinya adalah untuk menguasai sektor-sektor produksi dari berbagai bidang dan juga sektor-sektor perdagangannya yang terkait. Agar kemakmuran merata, agar tidak terjadi 55 juta orang miskin tidak bisa mengakses sanitasi dengan baik sebagaimana skenario-nya McKinsey tersebut di atas.
Hal lain adalah daya beli atau ukuran kemakmuran yang sesungguhnya. Dengan skenario pertumbuhan ekonomi rata-rata 7 % dan pertumbuhan jumlah penduduk rata-rata 1.15% , maka GDP per capita Indonesia akan berada di kisaran US$ 9,000 s/d US$ 10,000,- makmurkah kita saat itu ?. Standar US$-nya yang jadi masalah !.
Dengan pendapatan per capita rata-rata saat ini sebesar US$ 3,500,- ; rata-rata penghasilan orang Indonesia cukup untuk membeli sekitar 15 ekor kambing setahun. Bila tingkat penurunan daya beli Dollar 17 tahun mendatang sama dengan tingkat penurunannya selama 17 tahun yang lewat, maka penghasilan rata-rata sebesar US$ 10,000 tersebut akan setara kurang dari 10 ekor kambing. Artinya mengukur kemakmuran dengan timbangan US$ akan bias dan tidak bisa menggambarkan kemakmuran yang sesungguhnya.
Hal yang sama terjadi bila kita lakukan dengan Rupiah sekarang, penghasilan rat-rata per kapita kita saat ini yang berada di kisaran Rp 30.8 juta, akan menjadi sekitar Rp 100 juta pada tahun 2030 – bila otoritas moneter mampu menjaga nilai tukar Rupiah tidak lebih dari Rp 10,000/US$ sampai tahun tersebut.
Pertanyaannya adalah dengan pendapatan per capita kita di angka Rp 100 juta per tahun untuk tahun 2030, makmur kah kita ?. Lagi-lagi timbangan kambing (Dinar !) yang bisa mengukurnya dengan akurat. Pendapatan sekarang yang di angka Rp 30.8 juta kurang lebih cukup untuk membeli sekitar 15 ekor kambing untuk qurban yang baik.
Pendapatn Rp 100 juta tahun 2030 hanya cukup untuk membeli sekitar 2.5 ekor kambing ukuran qurban yang baik. Dengan Rupiah sekarang, harga kambing qurban saat itu akan mencapai Rp 40,000,000 ! tidak masuk akalkah ?.
Ketika tahun 1970, harga seekor kambing qurban yang baik masih di kisaran angka Rp 2,100,- tentu tidak terbayang oleh bapak-bapak kita saat itu bahwa suatu saat nanti ketika anaknya dewasa (yaitu jaman kita) harga kambing qurban menjadi Rp 2,100,000 per ekor. Harga kambing menjadi 1,000 kali lebih mahal dari harga kambing saat itu !.
Sesuatu yang tidak masuk di akal itu terjadi melalui apa yang disebut inflasi – yang terjadi secara gradual terus menerus tahun demi tahun !. Jadi dengan tingkat inflasi yang ada sekarang, tidak sulit bagi kita untuk membayangkan harga kambing akan naik hampir 20 kalinya dalam 17 tahun mendatang menjadi di kisaran Rp 40,000,000 per ekor.
Akan terlalu banyak angka nol untuk harga seekor kambing, maka sebelum itu terjadi – angka nol ini harus dibuang dahulu. Itulah relevansinya kebijakan redenominasi yang digagas pemerintah dan BI itu. Pada tahun 2030, harga kambing hanya akan menjadi Rp 40,000,- tetapi bukan Rupiah yang kita kenal sekarang – Rupiah kita yang telah dibuang tiga angka nolnya !
Jadi saya setuju dengan pemerintah dan BI untuk redenominasi, tetapi dengan alasan yang sedikit berbeda. Nggak tega saja membeli seekor kambing dengan harga Rp 40,000,000 ! Wa Allahu A’lam.