- KATEGORI : EKONOMI MAKRO
- Monday, 29 October 2012 07:26
- Oleh : Muhaimin Iqbal
Peperangan antara uang atau dalam bahasa aslinya disebut currency wars atau juga disebut competitive devaluation, adalah kondisi dimana negara-negara bersaing dalam merendahkan nilai tukar uangnya. Strategy ini umumnya ditempuh untuk meningkatkan daya saing export dan menurunkan daya saing produk import di dalam negeri.
Strategy ini bahkan juga termasuk yang diresepkan oleh IMF (Internasional Monetary Fund) sejak awal tahun 1980-an untuk negara-negara berkembang. Alasannya ya itu tadi, untuk mengurangi konsumsi impor dan menaikkan daya saing ekspor.
Teorinya adalah bila daya saing produk-produk yang diekpsor dari suatu negara kuat, maka akan banyak permintaan untuk produk tersebut dan meningkatkan pula Gross Domestic Products (GDP). Tingginya GDP yang melebihi pertambahan penduduk akan meningkatkan kesejahteraan penduduk negeri yang bersangkutan.
Di antara negara-negara di dunia, China yang paling sering dituduh oleh negara mitra dagangnya terutama Amerika bahwa mereka (China) merendahkan nilai tukar uangnya secara tidak wajar. Keunggulan China dalam ekspor selama ini adalah karena currency warsini – kata Amerika.
Lebih jauh , calon presiden Amerika yang akan mengikuti pemilihannya minggu depan – Mitt Romney punya tekat bahwa bila dia terpilih sebagai presiden, dia akan men-cap China sebagai currency manipulator. Ini akan bisa memicu perang mata uang dan perang dagang berikutnya, yang bukan hanya melibatkan dua negara Amerika dan China – tetapi seluruh negara lain akan terpaksa terlibat.
Sebagaimana perang yang selalu membawa korban, demikian pula dengan perang antar uang ini. Korban utamanya adalah masyarakat yang berpenghasilan tetap dan masyarakat yang tabungannya dalam mata uang kertas negeri yang bersangkutan.
Ketika daya beli mata uang kertas diturunkan baik secara mendadak dengan devaluasi ataupun secara bertahap melalui inflasi, daya beli uang masyarakat tentu ikut menurun – maka menurun pulalah tingkat kemakmurannya.
Daya beli tabungan mereka dalam segala bentuknya baik berupa deposito, tabungan, asuransi, dana pensiun , tunjangan hari tua, dana pesangon dlsb. ikut turun nilainya – sehingga bukan hanya kemakmuran saat ini yang terganggu – tetapi juga kemakmuran jangka panjang kedepan.
Pemerintah China nampaknya tahu betul dampak currency wars yang mereka termasuk pemain utamanya (meskipun tidak pernah diakuinya) terhadap penurunan kemakmuran rakyatnya baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang ini. Tetapi mereka juga punya solusinya.
Solusi yang ditempuh pemerintah China adalah mempermudah dan bahkan memfasilitasi rakyatnya untuk bisa secara rame-rame menabung emas. Masyarakat China sangat paham atas fungsi emas dalam mempertahankan kemakmuran mereka.
Lantas bagaimana dengan kita-kita yang hidup di negara yang (mau tidak mau) juga terlibat dalam currency wars, uang kita terus menurun daya belinya tergerus oleh inflasi – tetapi tidak ada kebijakan atau dorongan dalam bentuk apapun dari pemerintah untuk kepemilikan emas masyarakat ?.
Jawabannya ada di salah satu hadits shoheh yang diriwayatkan oleh sejumlah perawai berikut : “ (Juallah) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (denga syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai” (Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibn Majah, dengan teks Muslim dari ‘Ubadah bin Shamit)
Mengapa hadits ini bisa menjadi jawaban atas problem kita yang hidup di tengah currency wars ?, karena hadits tersebut memberi kita contoh sejumlah benda riil yang memiliki nilaiintrinsic – yang bisa berperan sebagai uang. Uang dalam arti yang sesungguhnya, yang mampu mempertahankan nilai (store of value), yang bisa menjadi satuan nilai (unit of account) dan tentu juga bisa berperan sebagai alat tukar (medium of exchange).
Pertanyaan berikutnya adalah dimana benda-benda riil tersebut menjadi uang yang sesunggungnya, uang dengan ke tiga fungsinya tersebut di atas ?. Jawabannya adalah sederhana yaitu di pasar !. Manakala kita bisa menciptakan pasar untuk benda riil – apapun , maka dia menjadi uang yang sesungguhnya.
Garam misalnya yang termasuk disebut dalam hadits tersebut di atas. Di jalan yang sama daerah tempat tinggal saya saja ada dua agen garam besar. Saya sering melihat mobil-mobil besar berhenti di depan pintunya me-naik-turunkan ber ton-ton garam.
Siapa yang butuh ber-ton-ton garam ini ?, itulah pasar dari jutaan penduduk di Jabodetabek dan sekitarnya – yang tidak bisa tidak membutuhkan garam untuk masakannya. Uang bagi para pedagang ini ya garamnya, ketika Rupiah terus mengalami penyusutan daya beli melalui inflasi – gampang saja bagi mereka ini, tinggal menyesuaikan harga jual garamnya.
Bukan hanya garam, gandum, beras dan sejenisnya benda riil yang bisa menjadi uang – benda riil apapun asal sudah tercipta pasarnya – dialah uang yang sesungguhnya itu.
Maka sejauh kita bisa menciptakan pasar untuk segala bentuk kebutuhan masyarakat kita, baik berupa emas/Dinar, garam, beras, kebun, dlsb.dlsb, insyaallah kita bisa melindungi diri dari menjadi korban currency wars. Selama masih ada ‘garam’ , perang antar mata uang itu masih bisa kita menangkan !. Insyaallah…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar