PERGERAKAN HARGA DINAR DALAM 24 JAM

Senin, 28 Januari 2013

Redenominasi Untuk Apa ?


Belum lama ini perusahaan konsultan global McKinsey&Company mengeluarkan laporannya tentang potensi Indonesia hingga 2030. Laporan ini nampaknya dibuat dengan sangat serius karena merupakan hasil interview dengn sejumlah menteri, akademisi dan pelaku usaha. Meskipun banyak manfaatnya karena dari laporan ini kita ‘bisa melihat’ kedepan, namun tetap saja kita harus sikapi dengan kritis karena laporan-laporan semacam ini tentu dibuat bukan tanpa kepentingan.

Hal-hal yang positif tentang laporan ini misalnya mengungkapkan bahwa Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi ke 7 terbesar di dunia tahun 2030. Bahwa berbeda dengan negeri tetangga, untuk tumbuh kita tidak sepenuhnya tergantung pada pasar ekspor karena 65% dari GDP kita berasal dari pasar domestik.

Hal lain yang juga positif adalah potensi ekonomi Indonesia dari sektor perikanan dan pertanian yang dianggapnya akan mampu menopang pertumbuhan ekonomi rata-rata di angka 7% seperti dalam ilustrasi disamping.

Selanjutnya yang juga saya setuju adalah untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang rata-rata tinggi tersebut, Indonesia harus secara sungguh-sungguh berinvestasi pada sumber daya manusia – khususnya pada peningkatan skills di berbagai sektor kehidupan. Pertumbuhan 7% tersebut menurut McKinsey hanya bisa dicapai bila ada peningkatan produktifitas rata-rata sekitar 60% dari sekarang sampai 2030.

Selain memberikan kabar baik, McKinsey juga memberikan peringatan yang perlu kita waspadai – yaitu khususnya yang terakit dengan pemerataan kesejahteraan. Menurut laporannya tersebut tahun 2030 – yang hanya 17 tahun dari sekarang, ketika anak Anda yang baru lahir menginjak usianya yang ke 17, 20 % dari penduduk Indonesia atau sekitar 55 juta orang saat itu akan tidak memiliki akses terhadap sanitasi dasar, dan sekitar 25 juta diantaranya bahkan akan kesulitan memperoleh air bersih.

Masalah air inilah yang dalam tulisan saya sebelumnya “Barakah Bukan Musibah…” mengajak untuk mensikapi dan menindak lanjutinya dengan benar. Bila otoritas negeri ini bisa mengelola air yang belum lama ini menjadi bencana, menjadi air baku yang tersimpan dengan baik di sejumlah waduk-waduk – maka peringatan McKinsey untuk problem air tersebut di atas insyaAllah tidak perlu terjadi.

Hal lain yang saya kurang sependapat dengan McKinsey adalah pertumbuhan ekonomi yang mengandalkan financial services. Saat ini rata-rata penduduk Indonesia hanya memiliki 2.3 produk yang terkait dengan jasa keuangan, sementara Malaysia rata-rata 5.4 dan Singapore rata-rata 7.7. Menurutnya Indonesia akan mendekati Malaysia atau bahkan Singapore ketika penghasilan kita tumbuh.

Pertumbuhan financial services membuat kekayaan masyarakat terpusat di perusahaan-perusahaan pengumpul dana masyarakat seperti bank, asuransi dlsb. Ketika dana itu terpusat pada segelintir institusi, maka yang bisa mengakses-pun hanya segelintir pihak. Masyarakat kebanyakan menabung dengan hasil yang pas-pasan bahkan sering kalah dengan laju inflasi, sementara segelintir orang yang memiliki privilege  akses terhadap capital yang terkonsentrasi akan menjadi semakin besar.

Kapitalisme ribawi tumbuh semakin besar peranannya dalam ekonomi masyarakat, manakala ditopang oleh industry jasa keuangan yang semakin besar. Mengapa 9 dari 10 pensiunan tidak siap secara finansiil ?, karena kekayaan mereka selama bekerja puluhan tahun tersimpan di berbagi produk jasa keuangan seperti dana pensiun, asuransi, deposito, tabungan dlsb.

Dari realita bahwa produk-produk jasa keuangan tersebut yang tidak mampu memakmurkan pemiliknya, mengapa harus diandalkan menjadi area pertumbuhan ?. Adakah orang bisa makmur dengan menabung ? Apakah para pensiunan - yang terbukti telah menabung selama puluhan tahun - bisa menjaga kwalitas kehidupannya dengan mengandalkan dana pensiun dan hasil deposito-nya ?.

Jadi darimana pertumbuhan itu terjadi mestinya ?, dari uang yang beredar dan berputar dengan cepat di masyarakat yang luas untuk menggerakkan sektor produksi dan sektor perdagangan. Inilah sektor-sektor yang secara riil memakmurkan masyarakat luas itu.

Jadi dalam 17 tahun dari sekarang, fokus tenaga terampil yang kita perlu bangun mestinya adalah untuk menguasai sektor-sektor produksi dari berbagai bidang dan juga sektor-sektor perdagangannya yang terkait. Agar kemakmuran merata, agar tidak terjadi 55 juta orang miskin tidak bisa mengakses sanitasi dengan baik sebagaimana skenario-nya McKinsey tersebut di atas.

Hal lain adalah daya beli atau ukuran kemakmuran yang sesungguhnya. Dengan skenario pertumbuhan ekonomi rata-rata 7 % dan pertumbuhan jumlah penduduk rata-rata 1.15% , maka GDP per capita Indonesia akan berada di kisaran US$ 9,000 s/d US$ 10,000,- makmurkah kita saat itu ?. Standar US$-nya yang jadi masalah !.

Dengan pendapatan per capita rata-rata saat ini sebesar US$ 3,500,- ; rata-rata penghasilan orang Indonesia cukup untuk membeli sekitar 15 ekor kambing setahun. Bila tingkat penurunan daya beli Dollar 17 tahun mendatang sama dengan tingkat penurunannya selama 17 tahun yang lewat, maka penghasilan rata-rata sebesar US$ 10,000 tersebut akan setara kurang dari 10 ekor kambing. Artinya mengukur kemakmuran dengan timbangan US$ akan bias dan tidak bisa menggambarkan kemakmuran yang sesungguhnya.

Hal yang sama terjadi bila kita lakukan dengan Rupiah sekarang, penghasilan rat-rata per kapita kita saat ini yang berada di kisaran Rp 30.8 juta, akan menjadi sekitar Rp 100 juta pada tahun 2030 – bila otoritas moneter mampu menjaga nilai tukar Rupiah tidak lebih dari Rp 10,000/US$ sampai tahun tersebut.

Pertanyaannya adalah dengan pendapatan per capita kita di angka Rp 100 juta per tahun untuk tahun 2030, makmur kah kita ?. Lagi-lagi timbangan kambing (Dinar !) yang bisa mengukurnya dengan akurat. Pendapatan sekarang yang di angka Rp 30.8 juta kurang lebih cukup untuk membeli sekitar 15 ekor kambing untuk qurban yang baik.

Pendapatn Rp 100 juta tahun 2030 hanya cukup untuk membeli sekitar 2.5 ekor kambing ukuran qurban yang baik. Dengan Rupiah sekarang, harga kambing qurban saat itu akan mencapai Rp 40,000,000 ! tidak masuk akalkah ?.

Ketika tahun 1970, harga seekor kambing qurban yang baik masih di kisaran angka Rp 2,100,- tentu tidak terbayang oleh bapak-bapak kita saat itu bahwa suatu saat nanti ketika anaknya dewasa (yaitu jaman kita) harga kambing qurban menjadi Rp 2,100,000 per ekor. Harga kambing menjadi 1,000 kali lebih mahal dari harga kambing saat itu !.

Sesuatu yang tidak masuk di akal itu terjadi melalui apa yang disebut inflasi – yang terjadi secara gradual terus menerus tahun demi tahun !. Jadi dengan tingkat inflasi yang ada sekarang, tidak sulit bagi kita untuk membayangkan harga kambing akan naik hampir 20 kalinya dalam 17 tahun mendatang menjadi di kisaran Rp 40,000,000 per ekor.

Akan terlalu banyak angka nol untuk harga seekor kambing, maka sebelum itu terjadi – angka nol ini harus dibuang dahulu. Itulah relevansinya kebijakan redenominasi yang digagas pemerintah dan BI itu. Pada tahun 2030, harga kambing hanya akan menjadi Rp 40,000,- tetapi bukan Rupiah yang kita kenal sekarang – Rupiah kita yang telah dibuang tiga angka nolnya !

Jadi saya setuju dengan pemerintah dan BI untuk redenominasi, tetapi dengan alasan yang sedikit berbeda. Nggak tega saja membeli seekor kambing dengan harga Rp 40,000,000 ! Wa Allahu A’lam.

Senin, 07 Januari 2013

Harga Emas : Tidak Terlalu Tinggi dan Tidak Terlalu Rendah…


Gunjang-ganjing harga emas dunia terjadi pada akhir pekan lalu ketika harga emas jatuh dibawah US$ 1,630/ozt sebelum akhirnya balik ke angka US$ 1,650-an. Rentang harga yang jauh ini terjadi karena pasar sempat panik setelah di-release-nya catatan pertemuan the Fed, bahwa QE -3 mungkin akan diakhiri tahun ini. Untuk sesaat pasar meresponnya dengan sentimen negatif berupa aksi jual emas karena harga emas diduga akan terus turun bila the Fed tidak lagi mencetak uang terus menerus dari awang-awang. Tetapi apa yang kemudian mendorong harga naik kembali dalam beberapa jam kemudian ?

Segera setelah pasar berfikir logis, bahwa secara fundamental problem ekonomi Amerika belum banyak berubah – bahwa segudang masalah masih menghadang di depan mata, maka pasar emas-pun kembali ke harga yang menurut saya wajar.

Tiga masalah utama yang dihadapi pemerintah Amerika saat ini adalah rencana pemotongan belanja dalam jangka panjang, peningkatan pendapatan dan kesepakatan  batas atas pinjaman. Untuk mengatasi masalah yang terakhir misalnya , yaitu proses negosiasi batas atas pinjaman negeri itu yang dilakukan di musim panas tahun 2011 lalu – telah mendorong harga emas naik ke angka tertingginya sepanjang sejarah – sempat menyentuh angka US$ 1,900/ozt di awal September 2011.

Batas atas pinjaman yang kini dipatok pada angka US$ 16.4 trilyun itu telah habis lagi terpakai sampai akhir 2012 lalu. Saat ini pemerintah negeri itu sedang berusaha dengan berbagai cara untuk mengatasi masalah hutang yang sudah mentog ini, tetapi kemungkinan hanya akan bertahan dua bulan sampai akhir bulan depan.

Negosiasi yang alot akan kembali terjadi mulai dalam beberapa pekan kedepan dan pasar berharap-harap cemas akan apa yang kemungkinan terjadi. Lembaga pemeringkat Moody’s Investor Services bahkan sudah mengeluarkan warning bahwa ada kemungkinan mereka menurunkan rating pinjaman negeri itu bila masalah kesepakatan penurunan defisit tidak tercapai.

Dengan berbagai isu tersebut di atas, memang dalam jangka pendek harga emas dunia mudah bergejolak dari satu ekstrem ke ekstrem yang lain. Namun setelah mengamati pergerakan harga emas ini dalam lima tahun terakhir, saya menjadi semakin yakin bahwa emas itulah uang yang sesungguhnya. Dia bisa naik tinggi tetapi tidak terlalu tinggi, atau turun rendah tetapi juga tidak terlalu rendah.

Mengapa demikian ?, atas kuasa Allah kepemilikan emas itu relatif menyebar ke seluruh pelosok dunia. Amerika-pun yang berusaha menguasai emas dunia sejak lebih dari setengah abad terakhir, penguasaan mereka hingga kini tidak lebih dari 5% dari emas dunia. Kepemilikan yang menyebar ini membuat tidak ada satu pihak-pun yang terlalu dominan di pasar.

Walhasil pasar emas dunia merupakan pasar yang paling mendekati pasar sempurna dalam mekanisme pembentukan harganya. Ketika sentimen orang beli meningkat, stok relative tetap – maka harga melonjak. Ketika sudah cukup tinggi, pemilik stok merasa waktunya melepas stoknya – meningkatkan jumlah supply yang available untuk dijual – harga kembali turun, begitu pula sebaliknya.

Karena mekanisme pembentukan harga  yang terjaga mendekati pasar sempurna inilah maka emas menjadi uang yang paling adil. Daya beli Dinar emas misalnya tidak akan melonjak sampai cukup untuk membeli sapi, tetapi juga tidak akan turun sampai hanya cukup untuk membeli ayam. Harga Dinar tetap berada di kisaran harga kambing selama ribuan tahun. Berspekulasi dengan harga emas secara umum tidak akan membuat seseorang menjadi kaya – karena harga emas yang tidak bisa terlalu tinggi itu tadi.

Positioning emas yang paling pas untuk saat ini adalah sebagai unit of account, store of value dan bila sudah memungkinkan juga menjadi medium of exchange.

Sebagai unit of account dia akan terus dapat menimbang secara adil nilai barang-barang kebutuhan manusia sepanjang jaman, naiknya harga dia seiring naiknya komoditi lain – demikian pula dengan turunnya harga dia seiring turunnya harga-harga komoditi lain. Kemudian tinggal menyisakan faktor supply and demand – yaitu fitrah pembentukan harga di pasar.

Sebagai store of value, emas berulang kali menunjukkan fungsinya yang sangat efektif melindungi asset rakyat manakala pemerintah –pemerintah dunia gagal melindunginya. Untuk fungsi ini Anda bisa tes menggunakan Kalkulator Dinar  yang saya perkenalkan di menu situs ini sejak kemarin.

Di Indonesia di awal krisis 1997, harga 1 Dinar Rp 133,900,- di puncak krisis ketika pemerintah saat itu tidak bisa mengendalikan daya beli uang Rupiah kita, tahun 1998 harga Dinar ikut melonjak menjadi Rp 418,300. Dinar melompat proporsional harganya seiring dengan penurunan daya beli Rupiah saat itu.

Sepuluh tahun kemudian, ketika Amerika mulai dilanda krisis sub-prime mortgage hal yang sama terulang di negeri lain yang katanya perkasa. Sebelum krisis 2007, harga 1 Dinar setara US$ 89,-, pada krisis yang pertama tahun 2008, harga Dinar melonjak menjadi US$ 123,-. Dan hingga kini, respon atas ketidak mampuan negeri itu mengelola uangnya – yang menjadi reserve currency dunia, harga Dinar berada di kisaran angka US$ 235,- atau naik 164 % dalam lima tahun krisis financial Amerika.

Setelah dua dari tiga fungsi uang yaitu unit of account dan store of value terbukti diperankan dengan sangat efektif oleh emas, maka tinggal satu fungsi saja yang nantinya akan terjadi dengan sendirinya yaitu sebagai medium of exchange atau alat tukar.

Setelah dunia lelah bereksperimen dengan uang fiat berabad-abad lamanya, kegagalan demi kegagalan, eksploitasi demi eksploitasi – maka masyarakat yang cerdas dunia insyaAllah akan kembali pada yang fitrah, mata uang yang adil sepanjang jaman yaitu satu-satunya mata uang yang berperan paripurna dalam ketiga fungsinya – unit of account, store of value dan medium of exchange. InsyaAllah.

Kembalinya Timbangan Yang Hilang…


Bila tahun 2010 Anda memiliki uang sebesar Rp 6,518,- Anda sudah bisa membeli 1 kg beras kwalitas rata-rata. Dua tahun kemudian 2012, uang yang sama bila Anda belikan beras tinggal memperoleh 0.86 kg. Tahun 2012 Anda perlu uang sebesar Rp 7,550,- untuk bisa membeli 1 kg beras kwalitas rata-rata. Begitu banyak kita diingatkan untuk menegakkan timbangan, tetapi justru instrumen perdagangan utama manusia modern yaitu uang kertas secara amat gamblang dan terus menerus mengurangi timbangan itu.

Takaran dan timbangan yang paling banyak digunakan untuk jual beli manusia modern bukan untuk menakar volume atau menimbang berat, tetapi untuk menentukan nilai. Lantas bagaimana bila penentu nilai itu sendiri berubah-ubah nilai atau daya belinya dari waktu ke waktu, tidak ada standar yang sama di antara satu negeri dengan negeri lainnya ?.

Jawabannya adalah seperti menakar dengan takaran yang volumenya terus mengecil, seperti menimbang dengan anak timbangan yang terus bertambah ringan. Hasil yang bisa ditakar atau ditimbang menjadi semakin sedikit. Uang kertas kita adalah takaran yang volumenya mengecil atau timbangan yang anak timbangnya terus bertambah ringan tersebut.

Dampak yang lebih luas dari tidak adanya takaran atau timbangan yang baku adalah perdagangan di dunia modern seperti orang-orang yang berjalan di lorong gelap, hanya yang membawa lampu sendiri yang tahu sedang berjalan kemana – sementara mayoritas orang tidak tahu sedang ke arah mana dia berjalan.

Pemerintah-pemerintah dunia mungkin tahu apa yang sedang mereka lakukan, tetapi mayoritas rakyat tidak sadar atau  tidak tahu bahwa hasil jerih payah mereka bekerja bertahun-tahun –terus menyusut bila untuk menakar/menimbang (baca : membeli) barang-barang kebutuhan seperti dalam contoh beras tersebut di atas.

Bagaimana era kegelapan timbangan ini membuat manusia kehilangan arah dapat diilustrasikan dari kasus berikut :

Pada musim qurban 2010, harga seekor kambing super (sekitar 40 kg) harganya di kisaran Rp 1,700,000. Pada tahun 2012 kambing qurban dengan berat yang kurang lebih sama, harganya di kisaran Rp 2,500,000,-. Mana yang lebih mahal ? dari sisi angka Rupiah tentu tahun 2012 lebih mahal 47% dari harga tahun 2010.

Kita bandingkan lagi dengan harga kambing di Amerika pada tahun-tahun tersebut. Untuk kambing dengan berat yang kurang lebih sama, tahun 2010 harganya US$ 100,- dan tahun 2012 harganya di kisaran US$ 150,-. Harga kambing di Amerika dari tahun 2010 ke tahun 2012 mengalami kenaikan sedikit saja lebih tinggi dari harga kambing di kita yaitu di kisaran 50%.

Dengan timbangan Rupiah dan Dollar selain kita tidak tahu apakah  harga tahun 2012 benar-benar lebih tinggi dan seberapa besar lebih tingginya, kita juga tidak bisa langsung membandingkan mana yang lebih mahal harga kambing di Indonesia dalam Rupiah atau kambing di Amerika dalam Dollar.

Sekarang mari kita coba gunakan timbangan yang bersifat universal atau saya sebutuniversal unit of account berupa Dinar atau Point ( 1/10,000 Dinar atau 1 ¢¢ Dinar). Untuk memudahkan penggunaan Dinar atau Point ini, mulai hari ini Kalkulator Dinar saya pasang diwww.geraidinar.com (kalau kesulitan mencarinya lihat di menu paling atas atau menu paling bawah) dan Kalkulator Point saya pasang di www.indobarter.com

Baik Kalkulator Dinar maupun Kalkulator Point dapat digunakan untuk menghitung konversi Dinar atau Point ke seluruh mata uang utama dunia atau sebaliknya dari seluruh mata uang utama dunia ke Dinar atau Point. Untuk US$ maupun Rupiah bahkan bisa untuk menghitung konversi Dinar atau Point ke mata uang dan sebaliknya, untuk waktu mundur sampai 1970.

Cara penggunaannya lihat pada ilustrasi disamping, pilih konversi yang ingin Anda lakukan misalnya karena saya mau mengkonversi harga kambing super  2010 sebesar Rp 1,700,000 ke Dinar, maka saya click radio button “Currency to Dinar”. Di Kotak putih saya ketikkan angka 1700000 (tanpa koma), currency saya set ke Rupiah dan tahun saya set ke 2010. Setelah saya click “Calculate” maka di screen menunjukkan angka Rp 1,700,000 yang setara dengan 1.0852 Dinar untuk tahun 2010. Inilah harga kambing super saat itu.

Dengan langkah yang sama saya ulangi untuk tahun  2012, maka harga kambing super Rp 2,500,000,- ternyata setara dengan 1.1357 Dinar. Sekarang kita bisa membandingkan dengan timbangan yang adil itu, harga kambing 2012 ternyata memang lebih mahal tetapi hanya naik sekitar 4.7 % dalam dua tahun.

Maknanya adalah dengan Dinar-pun harga kambing bisa naik, yaitu manakala demandmelebihi supply. Ketika orang yang mampu membeli qurban kambing super lebih banyak dari pertambahan supply-nya – maka harganya memang akan naik. Tetapi kenaikan karenademand yang melebihi supply ini, dalam jangka panjang akan menuju kestabilan karena akan menarik bagi yang akan men-supply kambing qurban berikutnya.

Dengan mengetahui bahwa kenaikan harga kambing  riilnya hanya 4.7% selama dua tahun 2010 ke 2012, lantas mengapa dengan uang Rupiah naiknya sampai 47% ?. Itulah kenaikan karena inflasi harga kambing dalam Rupiah selama dua tahun terakhir.

Bila kita sederhanakan misalnya kenaikan harga itu hanya dipengaruhi oleh dua sebab yaitu faktor inflasi dan faktor supply and demand atau saya formulasikan KENAIKAN HARGA = F(Inflasi)*(1+ Kenaikan Karena Supply and Demand), maka 47% = F(Inflasi)* (1+4.7%). Dari ini kita akan ketemu bahwa inflasi Rupiah saja telah menaikkan harga kambing qurban kelas super sebesar  44.89% dalam dua tahun dari 2010 ke 2012.

Kalkulator yang sama bisa kita gunakan untuk menghitung kenaikan harga kambing dengan ukuran yang kurang lebih sama di negeri Paman Sam. Harga kambing US$ 100 pada tahun 2010 setara dengan 0.5814 Dinar, harga kambing US$ 150 pada tahun 2012 setara dengan 0.6383 Dinar. Jadi dalam Dinar kenaikan kambing di AS dari 2010 ke 2012 adalah 9.8%.

Karena dalam Dollar naiknya sampai 50 % ( dari US$ 100 ke US$ 150), maka sebenarnya kenaikan karena faktor inflasinya adalah 50% = F(Inflasi)*(1+9.8%). Jadi Faktor inflasi-nya saja mempengaruhi kenaikan harga kambing 45.54% di Amerika antara tahun 2010 ke 2012.

Setelah menggunakan timbangan yang sama, kita juga bisa mengetahui bahwa kambing qurban kelas super yang di Indonesia tahun lalu berharga 1.1357 Dinar jauh lebih tinggi dari kambing dengan berat yang kurang lebih sama di Amerika yang hanya 0.6383 Dinar. Apa penyebabnya ?, lagi-lagi antara lain ya karena supply and demand tadi, ongkos produksi dan lain sebagianya – tetapi bukan karena faktor inflasi, karena faktor inflasi dalam artian penurunan daya beli uang-nya sudah kita eliminir.

Lagi-lagi perhitungan di atas membuktikan akan adanya suatu alat tukar atau suatu timbangan yang stabil daya belinya sepanjang jaman. Bila di jaman Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam harga kambing qurban di kisaran 1 Dinar, setelah lebih dari 1,400 tahun perhitungan-perhitungan diatas menunjukkan 1 Dinar yang sama tetap dapat untuk membeli kambing kwalitas super sekarang.

Bandingkan dengan uang kertas dalam rentang 33 tahun terakhir saja misalnya, dari 1979 harga kambing kelas super yang wajar Rp 25,000-an – naik  100 kali menjadi Rp 2,500,000,- tahun 2012. Dengan pendekatan yang sama menggunakan Kalkulator Dinar di atas, kita bisa tahu bahwa tahun 1979 kambing super berharga 0.9259 Dinar sedangkan tahun 2012 seharga 1.1357 Dinar atau hanya mengalami kenaikan riil 22.65 % selama 33 tahun.

Bahwasannya dalam Rupiah pada rentang waktu 33 tahun itu harga kambing super naik menjadi 100 kalinya atau naik 9,900 % itu karena ada inflasi uang kertas sebesar 8,071.75% !.

Bagaimana dengan beras dalam awal tulisan ini yang saya jadikan sebagai contoh kasus ‘pengurangan timbangan’ yang kita hadapi sehari-hari dalam jual beli kita ?. Bisa juga kita timbang dengan Kalkulator Dinar yang sama, hanya saja karena satuan Dinar yang bernilai jauh lebih besar dibandingkan dengan nilai 1 kg beras, ini ibarat menimbang berat badan Anda dengan jembatan timbang yang biasa digunakan untuk menimbang truk. Bisa, tetapi menjadi kurang akurat.

Untuk bisa menimbang barang-barang yang nilainya kecil, timbangan Dinar tersebut perlu diperkecil sampai mendekati ukuran yang sesuai peruntukannya. Dalam hal ini Dinar saya pecah menjadi 1/10,000 Dinar atau 1 ¢¢ Dinar atau saya sebut 1 Point. Kalkulator yang sudah saya perkecil menjadi Kalkulator Point  inilah yang dapat dilihat diwww.indobarter.com.


Rp 6,518 untuk 1 kg beras kwalitas rata-rata tahun 2010 adalah setara 42 Point, sedangkan Rp 7,550 untuk beras yang sama tahun 2012 adalah setara 34 Point. Jadi meskipun dalam Rupiah terjadi kenaikan harga sebesar 15.83 % dalam rentang waktu dua tahun antara 2010 ke 2012; harga beras riil dalam Point malah turun 19.05% dari 42 Point ke 34 Point.

Efek inflasi Rupiah terhadap harga beras 2 tahun terakhir menjadi 15.83% = F(Inflasi) * (1-19.05%), atau inflasi Rupiah membawa kenaikan harga beras sampai 19.56% dalam rentang waktu tersebut. Kenaikan karena inflasi ini sebagian ‘tersembunyikan’ oleh penurunan harga riilnya.

Dengan contoh-contoh perhitungan menggunakan Kalkulator Dinar maupun Kalkulator Point tersebut di atas, insyallah kita sekarang bisa menemukan kembali timbangan untuk jual-beli yang adil itu. Yang oleh Imam Ghazali sudah diingatkan hampir 1000 tahun lalu bahwa  ‘hanya emas dan perak-lah timbangan yang adil untuk penentu harga-harga itu’.

Timbangan yang adil adalah ibarat lampu yang menerangi jalan, kita bisa tahu arah yang benar apakah fitrah mekanisme pasar  supply and demand yang mempengaruhi harga-harga kita, atau karena faktor lain seperti utamanya inflasi ini. Bayangkan kalau kenaikan harga karena inflasi seperti harga beras 2010-2012 tersebut kita kira karena kelebihan demandterhadap supply, kita akan salah mengambil keputusan.

Karena penyebabnya inflasi bukan karena supply yang tidak mencukupi demand, maka yang harus diperbuat para pemimpin adalah mengendalikan inflasi ini jangan sampai terjadi – agar rakyat bisa tahu arah yang benar – berapa seharusnya tingkat produksi yang dihasilkannya untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya.

Saya tahu mungkin tidak banyak yang akan mau menggunakan ‘lampu’ timbangan yang adil dalam bentuk Kalkulator Dinar dan Kalkulator Point ini, tetapi ibarat berjalan di lorong yang gelap – apapun yang bisa menerangi jalan seharusnya kita ambil dan gunakan. Wa Allahu A’lam